Pandemik COVID-19 yang tengah dialami masyarakat dunia saat ini, sebenarnya pernah juga dialami seratus tahun silam. Bedanya, pada tahun 1918 masyarakat dunia dikejutkan dengan penyebaran virus penyebab penyakit influenza, yaitu rhinovirus. Sedangkan COVID-19 disebabkan oleh virus corona golongan SARS-CoV-2. Gejalanya sendiri kurang lebih serupa antara influenza dengan COVID-19.
Langkah yang dilakukan pemerintah setempat dalam menanggulangi kasus pandemik COVID-19 ini juga mirip dengan yang dilakukan pemerintah seratus tahun silam dalam menghadapi pandemik influenza. Mulai dari memberlakukan karantina dan isolasi serta tindakan pencegahan dengan melarang sejumlah pertemuan publik.
Teknik baru: terapi luar ruangan
Dikutip dari tulisan Richard Hobday dalam mikroblognya Coronavirus and the Sun: a Lesson from the 1918 Influenza Pandemic, ada suatu teknik yang tercatat dapat membantu proses pemulihan pasien pandemi influenza pada tahun 1918 lalu. Karena gejala yang diperlihatkan mirip, dan pendekatan pertama yang diambil pemerintah untuk menghadapinya juga sama, diharapkan teknik ini dapat pula membantu menekan kemungkinan terburuk dari pandemik kali ini.
Petugas medis kala itu menemukan bahwa pasien influenza yang dirawat dengan proses yang melibatkan aktivitas di luar ruangan, sembuh lebih baik daripada mereka yang dirawat di dalam ruangan saja. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada faktor udara segar dan sinar matahari yang dapat membantu pasien pulih lebih baik. Selain itu, faktor tersebut diduga juga dapat meminimalisir resiko infeksi di antara staf medis.
Memang ada penelitian yang menunjukkan bahwa sinar matahari dan udara segar merupakan disinfektan alami. Penelitian dari University of Oregon menunjukkan bahwa ruangan yang terekspos sinar matahari selama 90 hari hanya menyisakan 6,8% bakteri. Sedangkan ruang yang tidak mendapat sinar matahari masih menyisakan 12% bakteri aktif.
Richard mencatat bahwa saat itu, dua tempat terburuk dan beresiko tinggi terinfeksi influenza adalah barak militer dan kapal pasukan. Itu karena tingkat kepadatan prajurit dan pelaut dan ventilasinya yang biasanya buruk.
Pelajaran dari pandemi terdahulu
Selain itu, dilansir Detik, pasien pandemik COVID-19 sebagian besar bukan meninggal karena virus corona SARS-CoV-2 melainkan penyakit bawaan. Ini juga terjadi pada korban pandemi flu yang biasa disebut flu Spanyol. Kebanyakan korban saat itu meninggal akibat pneumonia dan komplikasi lainnya.
Saat itu, open-air treatment pun dilakukan. Tahun 1918, para petugas medis di Boston memperhatikan bahwa pelaut yang paling parah terinfeksi flu Spanyol tersebut berada di ruang dengan ventilasi yang buruk. Petugas medis lalu mulai memberi udara segar kepada pasien dengan menggunakan tenda. Bangsal tempat perawatan berventilasi silang dengan jendela yang dibuka tiap siang dan malam. Terapi terbuka pun mulai banyak dilakukan, terutama pada penyakit umum dan mematikan saat itu, TBC.
Bagaimana dengan masker wajah? Saat itu di Boston, siapapun yang berkontak dengan pasien harus menggunakan masker wajah improvisasi. Masker tersebut saat itu terbuat dari lima lapis kain kasa yang dipasang di kerangka kawat yang menutupi hidung dan mulut. Kerangka disesuaikan dengan wajah pemakai agar menghindari kain kasa menyentuh mulut dan lubang hidung. Saat itu pun masker tersebut harus diganti tiap dua jam dengan disterilkan dan diganti kasa segar. Inilah cikal bakal respirator N95 hari ini.